Desain BUMN dalam Ekonomi Pancasila

Lembaga BUMN hadir bukan hanya untuk mencetak keuntungan dari bisnisnya, tetapi untuk memastikan negara dan warga-negaranya sejahtera.

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

Suatu kali ekonom Paul Samuelson (1915-2009) berfatwa, “keberhasilan dalam ekonomi berasal dari kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus menerus, dan nilai sejati dari ekonomi adalah kemampuan untuk menciptakan nilai tambah.”

Fatwa ini mengingatkan kita pada kelembagaan ekonomi Indonesia: Koperasi dan BUMN. Dua lembaga yang paling bertanggungjawab terhadap kemajuan dan kebaikan perekonomian kita semua.

Kita tahu, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) bukan sekadar aset negara. Ia adalah alat konstitusional untuk menjamin keadilan-kesentosaan ekonomi bagi seluruh warga-negara.

Dalam Pasal 33 UUD 1945, ditegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Bukan untuk dikuasai oleh pasar, apalagi dikomersialisasi.

BACA JUGA: Korupsi: Antara Negara Untung dan Rakyat Buntung

Nah, lembaga BUMN hadir bukan hanya untuk mencetak keuntungan dari bisnisnya, tetapi untuk memastikan negara dan warga-negaranya sejahtera. Singkatnya, BUMN ini melampaui kerangka pikir sektor swasta dan korporasi.

Tetapi dalam praktiknya, BUMN kerap diperlakukan seperti perusahaan swasta. Banyak di antaranya diminta mencetak laba, membagikan dividen, bahkan masuk bursa saham.

Negara memosisikan dirinya sebagai pelaku bisnis. Warga negara, yang seharusnya dilindungi, berubah jadi konsumen. Mereka harus membeli listrik, air, bahan bakar, hingga layanan rumah sakit dengan harga komersial. Padahal layanan itu hak dasar, bukan barang dagangan.

Ketika layanan dasar dijual kepada warga negara atas nama efisiensi dan profitabilitas, maka negara telah berubah fungsi. Negara yang semestinya menjamin hak, kini justru menarik untung dari hak tersebut.

Logika bisnis menggantikan logika keadilan. Konstitusi yang seharusnya menjadi arah, tersisih oleh kalkulasi korporasi.

Narasi bahwa BUMN harus untung demi anggaran negara adalah pola-pikir keliru. Sebab, negara tidak boleh menggantungkan APBN pada bisnis terhadap warganya sendiri. Apalagi menggunakan monopoli, oligopoli dan predatori. Hal ini karena negara punya pajak dan cukai sebagai instrumen utama.

Sementara BUMN semestinya menjadi penopang keseimbangan pasar, pengendali harga, dan pengaman kebutuhan pokok warga negara. Bukan bersaing dengan pelaku pasar dan mengambil margin dari kesulitan publik.

BACA JUGA: Profil Adnan Buyung Nasution: Pendekar Hukum Bersuara Lantang di Istana

Lebih dari itu, BUMN juga bukan tempat negara menumpuk utang. Kebijakan memaksa BUMN mengambil pinjaman jumbo demi membiayai proyek-proyek negara adalah bentuk pelimpahan beban fiskal yang tidak konstitusional.

Utang BUMN bukanlah utang privat. Terlebih jika ujungnya tetap akan ditanggung oleh publik jika terjadi kegagalan. Ketika BUMN dijadikan kendaraan fiskal, bayangan untuk menutup defisit, maka negara sedang menyembunyikan beban fiskal dengan cara membebani masa depan warga negara.

Fungsi strategis BUMN semakin kabur ketika holdingisasi dan liberalisasi dilakukan besar-besaran. Semakin banyak BUMN dipusatkan dalam holding, semakin jauh kontrol warga negara terhadapnya.

Keputusan strategis tidak lagi melalui mekanisme demokrasi ekonomi. Ia ditentukan oleh sekelompok elite manajemen yang lebih dekat pada investor daripada pada warga negara sendiri.

Kini lebih parah sebab BUMN bahkan mulai masuk ke sektor UMKM dan ritel. Mereka bersaing langsung dengan pelaku usaha kecil yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Ketika negara masuk sebagai pemain dominan, maka ruang hidup ekonomi warga negara semakin sempit. Ini bukan sinergi, tapi dominasi. Ini bukan proteksi, tapi ekspansi.

Dalam sistem ekonomi Pancasila, negara tidak boleh netral. Negara wajib berpihak. Ketika negara memosisikan BUMN sebagai pedagang, maka ia sedang meninggalkan tanggung jawab ideologisnya.

Ingat bahwa kesejahteraan tidak bisa diserahkan pada pasar sepenuhnya. Pasar bisa kuat, tapi tanpa kontrol negara, ia bisa menghancurkan keadilan, ia memakan anak kandung dan pemiliknya: warga-negara.

Sudah saatnya fungsi BUMN dikembalikan ke jalur konstitusional. Bukan alat bisnis negara, bukan tempat berutang negara, tapi alat strukturasi dan distribusi kesejahteraan.

BACA JUGA: KPK Selidiki Dugaan Korupsi Pengadaan Mesin EDC di Bank BUMN, Pejabat Lama Terlibat

Bukan mengejar untung, tetapi menjamin kebutuhan hidup dasar tersedia dan terjangkau. Negara tidak boleh menjual kembali hak warga negara. Hak untuk hidup layak tidak bisa dibeli.

Laba BUMN tidak ada artinya jika warga negara tetap menjerit bayar listrik, BBM, biaya kesehatan, biaya pendidikan, perumahan dan kebutuhan pokok lainnya. Keuntungan negara tidak bisa dibenarkan jika diperoleh dari penderitaan warganya sendiri.

Sebaliknya, fungsi pelayanan publik harus lebih tinggi nilainya daripada laporan keuangan yang positif. Kita tidak boleh bahagia di atas penderitaan warga-negara serta tidak boleh menderita saat warga-negara bahagia.

Jika negara masih ingin memegang amanat konstitusi, maka kita semua harus menarik kembali BUMN dari arus komersialisasi dan penyalahgunaan fiskal.

BUMN hanya harus beradaptasi, berinovasi dan menemukan ide-ide cemerlang lainnya (outward looking). Menjadi pemain dunia. Mendominasi dunia luar. Tetapi, harus terus disadari bahwa BUMN bukan milik pasar.

BUMN adalah milik warga negara. Dan, warga negara bukan konsumen, mereka adalah pemilik sah republik ini. []

Facebook
Twitter
WhatsApp
Scroll to Top