Sejarah Kota Depok: Negeri Pembebasan Budak dan Lokasi Pertapaan

IMN.co.id – Mari mengenal sejarah singkat Kota Depok. Kota yang berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan ini salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki sejarah menarik.

Nama “Depok” sudah dikenal sejak abad ke-17. Meski belum ada kesepakatan tunggal soal asal-usul namanya, salah satu versi populer menyebut bahwa “Depok” berasal dari akronim bahasa Belanda: De Eerste Protestantsche Onderwijs Stichting, yang berarti “Lembaga Pendidikan Kristen Pertama”. Versi ini diduga baru muncul di era kolonial.

Beberapa ahli sejarah justru merujuk bahwa nama “Depok” sudah dikenal sebelum itu, bahkan bisa jadi berasal dari istilah dalam bahasa Sunda lama yang berarti “pertapaan” atau “tempat sunyi”.

 

DARI TANAH PARTIKELIR MILIK CORNELIS CHASTELEIN

Tonggak sejarah penting Depok terjadi pada 1696, ketika Cornelis Chastelein, seorang mantan pejabat tinggi VOC, membeli sebidang besar tanah dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Tanah ini kemudian menjadi tanah partikelir (tanah milik perseorangan), berbeda dari tanah-tanah yang langsung dikuasai pemerintah kolonial.

Partikelir adalah istilah yang merujuk pada sesuatu yang bukan milik umum atau pemerintah, melainkan milik pribadi atau swasta.

Dalam konteks sejarah, istilah ini sering dikaitkan dengan tanah partikelir, yaitu tanah yang dimiliki oleh pihak swasta.

Mereka umummnya memiliki hak-hak istimewa atas tanah tersebut, yang diberikan pihak kolonial.

Chastelein adalah tokoh penting dalam sejarah Depok. Ia membawa budak-budak dari berbagai etnis; di antaranya Bali, Ambon, Bugis, dan Jawa.

Chastelein membebaskan mereka dan diberi status merdeka, kemudian dijadikan warga Depok.

Dalam wasiatnya (1704), ia menetapkan agar tanah Depok diwariskan kepada keturunan para mantan budak tersebut, yang kemudian dikenal sebagai “12 marga Depok”.

Komunitas ini kemudian hidup dengan struktur semi-otonom dan membentuk semacam republik kecil dengan hukum dan sistem sosialnya sendiri.

Depok bukan sekadar kota satelit Jakarta. Kota ini titik temu sejarah kolonial, pembebasan manusia, pendidikan, dan pertumbuhan urban.

 

 

PERKEMBANGAN AWAL: DARI KOTA MISI DAN PENDIDIKAN

Warisan Kristen Protestan dari Chastelein terus bertahan. Pada abad ke-19, Depok dikenal sebagai kota misi dan pusat pendidikan Kristen.

Dibangunlah sejumlah gereja dan sekolah Protestan, termasuk yang dikelola oleh lembaga-lembaga Belanda.

Secara administratif, Depok tetap menjadi tanah milik keluarga besar keturunan Chastelein hingga awal abad ke-20, sebelum akhirnya diintegrasikan ke dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan kemudian Kawedanan Parung.

Setelah Indonesia merdeka, wilayah Depok berkembang pesat sebagai kawasan hunian pinggiran Jakarta.

Pada 1976, wilayah ini menjadi bagian dari Kabupaten Bogor dan mulai dilirik sebagai kawasan penyangga ibu kota.

Kemudian, pada 27 April 1999, melalui UU No. 15 Tahun 1999, Depok resmi dimekarkan dari Kabupaten Bogor dan ditetapkan sebagai kotamadya administratif, dengan nama Kota Depok.

Statusnya kemudian diperkuat pada 2004 melalui UU No. 32 Tahun 2004 sebagai kota otonom penuh.

Kini, Depok dikenal sebagai kota penyangga Jakarta yang memiliki karakter urban namun tetap kuat dengan ciri khas religius dan intelektual.

Julukan “Kota Belimbing” tak lagi dominan hari ini. Namun predikat sebagai kota pendidikan tetap melekat, berkat kehadiran kampus-kampus besar. Di antaranya Universitas Indonesia (UI), Gunadarma, dan Politeknik Negeri Jakarta.

Depok juga menjadi kota dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, didorong oleh urbanisasi, perumahan baru, serta perkembangan sektor jasa dan perdagangan.

Sayangnya, perkembangan ini juga menimbulkan tantangan: kemacetan, ketimpangan infrastruktur, dan problem tata kota yang kerap dikritik warganya sendiri.

Jangan berkunjung ke kota ini pada Sabtu dan Minggu, jika Anda yang suka terjebak di tengah kemacetan arus lalu lintas.

 

WARISAN YANG JANGAN DILUPAKAN

Meski Depok modern terus membangun, jejak warisan sejarah seperti Gereja Tua Immanuel (GPIB Depok Lama), kompleks makam keluarga Chastelein, serta jejak budaya dari 12 marga Depok mulai terpinggirkan.

Ada upaya dari komunitas lokal untuk menjaga warisan ini agar tidak hilang ditelan beton dan waktu.

 

TITIK TEMU SEJARAH

Ini catatan penting, Depok bukan sekadar kota satelit Jakarta. Kota ini boleh disimpulkan sebagai titik temu sejarah kolonial, pembebasan manusia, pendidikan, dan pertumbuhan urban.

Dari tanah partikelir warisan Chastelein, Depok kini menatap masa depan sebagai kota megapolitan. Terhampar tantangan dan harapan atas kota yang terus tumbuh ini.

 

DATA

Total luas Kota Depok adalah 199,91 km², berdasar publikasi “Kota Depok Dalam Angka 2025” oleh BPS.

Jumlah penduduk, menurut BPS per 2024, sebanyak 1,97 juta jiwa

Mayoritas penduduknya (±67,26%) termasuk kelompok usia produktif (15–59 tahun), anak-anak usia 0–14 tahun sekitar 23,01%, dan lansia >60 tahun sekitar 9,72%

Kota Depok terbagi 11 kecamatan, terdiri atas 63 kelurahan.

Berikut nama wali kota Kota Depok hingga hari ini:

Mochammad Rukasah Suradimadja (1982–1984)
Mochammad Ibid Tamdjid (1984–1988)
Abdul Wachyan (1988–1991)
Mochammad Masduki (1991–1992)
Sofyan Safari Hamim (1992–1996)
Badrul Kamal (1997–2005)
Nur Mahmudi Ismail (2006–2016)
Mohammad Idris (2016–20 Februari 2025)
Supian Suri (sejak 20 Februari 2025). []

 

Sumber:

Depok Tempo Doeloe oleh Haryoto Kunto (1984)
Depok: Kota Warisan Chastelein oleh Yano Jonathans dan tim LPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UI)
Depok dalam Lintasan Sejarah oleh Pemerintah Kota Depok

Facebook
Twitter
WhatsApp
Scroll to Top