Tak Banyak yang Tahu! ‘Lingga’-‘Yoni’ Republik: Rahasia Mistis Desain Tugu Monas

Dalam pandangan Soekarno, sebuah bangsa besar tidak hanya perlu simbol fisik, tetapi juga tugu spiritual yang mencerminkan harmoni kosmis.

IMN.co.id – Monumen Nasional (Monas) berdiri megah di jantung ibu kota sebagai simbol kemerdekaan Indonesia. Siapa sangka, di balik bentuknya yang tegas dan menjulang setinggi 132 meter, Monas menyimpan rahasia desain yang tak banyak diketahui publik.

Monas dirancang secara apik berdasarkan prinsip mistisisme Jawa kuno, dengan bentuk lingga dan yoni sebagai pusat daya simbolik.

Simbol linggayoni –yang dalam tradisi Hindu-Jawa berarti perpaduan energi maskulin dan feminin– menjadi fondasi spiritual atas tugu yang dibangun atas prakarsa Presiden Soekarno.

BACA JUGA: Adnan Buyung Nasution: Singa Hukum yang Terus Mengaum

Dalam pandangan Soekarno, sebuah bangsa besar tidak hanya perlu simbol fisik, tetapi juga tugu spiritual yang mencerminkan harmoni kosmis.

Hal itu diwujudkan dalam bentuk tiang utama Monas (lingga) yang berdiri tegak di atas cawan persegi (yoni), melambangkan kesuburan dan penciptaan.

Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961. Dengan upacara peletakan batu pertama yang dipimpin langsung oleh Soekarno. Pembangunan digelar di atas lahan seluas 80 hektar di tengah Lapangan Medan Merdeka.

Proyek ini tak berjalan mulus. Setelah sempat terhenti karena krisis politik dan ekonomi di masa akhir Orde Lama, pembangunan dilanjutkan secara bertahap pada masa awal Orde Baru.

Akhirnya, Monas diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Juli 1975. Ya, monumen yang ide besar Soekarno, namun yang meresmikan justru seseorang yang “menggulingkannya”.

Dengan lantai dasar berbentuk bujur sangkar selebar 45 x 45 meter (merujuk pada tahun kemerdekaan), dan puncak yang dilapisi emas seberat 35 kilogram, Monas menjadi lambang kebesaran negara dalam segala dimensinya: fisik, historis, dan spiritual.

BACA JUGA: Ada Tanda-Tanda Tak Wajar di Balik Kematian Diplomat Arya Daru

Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams (1965), Soekarno secara terang-terangan menyatakan bahwa Monas harus menjadi tugu yang bukan hanya agung secara visual, tetapi juga memiliki jiwa nasional yang memancarkan semangat perjuangan dan kekuatan batin Nusantara.

Lebih menarik lagi, menurut peneliti budaya Jawa Dr. R.M. Soedarsono dalam Seni dan Mistisisme dalam Arsitektur Jawa (1995), tinggi Monas yang mencapai 132 meter bukan angka acak alias diputuskan begitu saja.

Jika dijumlahkan (1+3+2), hasilnya 6, yang dalam filosofi Jawa adalah lambang kesempurnaan duniawi dan harmoni.

Desain ini diyakini dihitung berdasarkan weton dan kalender Jawa, sebagaimana Bung Karno dikenal sangat memercayai kekuatan kosmis dan spiritualitas arsitektural.

Di dalam Monas terdapat Ruang Kemerdekaan, tempat naskah asli Proklamasi disimpan bersama rekaman suara Bung Karno. Tapi yang jarang diketahui publik adalah keberadaan ruang bawah tanah tambahan yang disebut-sebut sebagai “ruang meditasi presiden”.

Menurut sejarawan Onghokham dalam esainya “Soekarno dan Imajinasi Kekuasaan” (Tempo, 1987), ruang tersebut didesain agar pemimpin tertinggi dapat menyatu dengan kekuatan energi bumi –mewujudkan konsep keraton kosmis dalam bentuk modern.

Monas juga dibangun tepat di tengah Mandala Jakarta, dikelilingi empat jalan besar yang menghadap ke empat penjuru mata angin. Ini memperkuat makna simbolik Monas sebagai pusat semesta versi negara-bangsa modern.

BACA JUGA: Kejagung Tak Bisa Daftarkan Red Notice Riza Chalid ke Interpol, Begini Alasannya

Dalam pandangan arsitektur politik ala Soekarno –sebagaimana diteliti oleh Abidin Kusno dalam After the New Order (2000)– bangunan ini tidak hanya menjadi lambang nasionalisme, tetapi juga manifestasi mitos kekuasaan.

Kini, Monas dijadikan salah satu destinasi wisata penting di Jakarta, selain sebagai lapangan upacara resmi. Juga sebagai titik pusat demonstrasi besar.

Sedikit di antara kita yang menyadari bahwa monumen ini menyimpan jiwa leluhur, mitos kejayaan, dan bahkan unsur seksualitas sakral dalam bentuk arsitekturalnya.

Monumen ini bukan sekadar tugu. Ia adalah linggayoni republik, merupakan puncak imajinasi mistik seorang Soekarno yang ingin menyatukan negara, rakyat, dan alam dalam satu pusat spiritual kekuasaan. []

Facebook
Twitter
WhatsApp
Scroll to Top