24 Tahun Wafat Pejuang Hukum Baharuddin Lopa: Bara Api Keadilan!

Negara yang kuat bukan karena banyak tentara. Tetapi karena punya manusia-manusia yang tak bisa dibeli.

 

IMN.co.id – Dua puluh empat tahun lalu, pada 3 Juli lalu, tokoh ini mengembuskan nafas terakhir. Para pencari keadilan di tanah air berkabung.

Sementara beberapa hari lagi, Agustus menemui kita. Pada bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 2025, sosok yang dikenal seantero tanah air ini akan merayakan milad ke-90 jika beliau masih hidup.

Dalam suasana tersebut, INDEPENDENMEDIA.ID (member of IMN Group) menurunkan catatan ini untuk mengenal sosok Baharuddin Lopa, salah seorang tokoh yang dapat menjadi inspirasi penting dalam penegakan hukum –yang di negeri ini kini bak dalam ruang gelap gulita.

Hari itu, Selasa, 27 Agustus 1935, di salah satu desa di Polewali, Sulawesi Barat, lahirlah seorang putra, yang ketika dewasa kiprahnya mengguncang ruang-ruang pengadilan. Keteguhannya menggugah nurasi kekuasaan melalui bara api kejujurannya.

Lopa dibesarkan dalam budaya Bugis-Mandar, yang menjunjung harga diri lebih tinggi daripada nyawa sekalipun. Di sana, hukum bukan cuma aturan, tetapi kehormatan. Dari sini Lopa memulai jalan panjangnya: jalan sepi, jalan sunyi… jalan melawan sistem dari dalam.

Di kampus hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Lopa dikenal bukan karena mahasiswa piawai bersilat lidah, namun karena tak sudi memutar kata. Dia membaca hukum seperti membaca doa, dengan pengkhidmatan.

Di kampus, mahasiswa satu ini lebih banyak membaca buku filsafat dan tafsir hukum ketimbang bersosialisasi.

“Hidup ini harus punya marwah,” begitu katanya saat menjadi dosen, sebagaimana dikutip seorang mahasiswanya.

BACA JUGA: Terkuak! Ridwan Kamil Diduga Samarkan Aset Mewah Atas Nama Ajudan, KPK Buka Fakta Baru Kasus BJB Rp222 Miliar

Sebagai jaksa, Lopa bukan sekadar penuntut. Ia pembakar. Membakar meja pengadilan dengan keberanian. Membakar ilusi hukum yang adil, lalu menuntut kita semua untuk bertanggung jawab.

Ketika diamanahi jabatan, Lopa tak berubah sama sekali. Rumahnya tetap sederhana. Uangnya tak menggunung. Bahkan tak seorangpun ajudan yang membukakan pintu. Loba tak ingin dihormati karena jabatan. Satu hal penting baginya; integritas jangan sampai ternodai.

Di puncak kekuasaan, Lopa masih sama. Ia menolak jamuan, menolak perlindungan politik, menolak kompromi. Bahkan saat ancaman datang, ia tak gentar. Ia tahu: kadang membela hukum berarti melawan kekuasaan.

Pada 3 Juli 2001 di Riyadh, Arab Saudi, Lopa mengembuskan napas terakhir. Dunia terdiam. Negeri ini kehilangan nurani dalam wajah seorang manusia. Seorang manusia yang memilih membakar dirinya, agar negeri ini bisa melihat terang. Walau sekejap.

Hari ini, kita bicara soal hukum. Tentang reformasi. Tentang integritas. Satu pertanyaannya: Sudahkah kita menyalakan kembali api yang ditinggalkan Lopa? Atau kita justru memadamkannya, secara perlahan karena takut panasnya?

 

PERLAWANAN SUNYI DARI DALAM SISTEM

Di tengah sorot tajam terhadap wajah hukum Indonesia yang kusam, nama Baharuddin Lopa menjulang seperti bara yang tak padam. Namun di balik ketegasannya sebagai jaksa, hakim ad hoc, hingga menteri, ada kisah-kisah sunyi yang tak banyak dibicarakan: tentang kesepian, perlawanan dalam diam, dan iman yang diuji di ruang kekuasaan.

Nama Lopa baru mendapat perhatian publik luas ketika ia memimpin Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan menggebrak mafia kayu dan korupsi di wilayah kerjanya.

Tak banyak tahu –karena jarang diulas– ia kerap “diisolasi” oleh sesama aparat penegak hukum.

Diangkat sebagai Dirjen Pemasyarakatan pada era Soeharto, Lopa mulai menyuarakan perlakuan tak adil terhadap tahanan politik dan pelanggaran HAM –sesuatu yang mengagetkan pada saat itu. Kok, berani dia?

Beberapa pejabat tinggi menyebut Lopa sebagai “orang berbahaya dalam sistem”, bukan karena radikal, melainkan karena terlalu jujur.

Dalam sebuah catatan tak resmi, Lopa pernah menolak permintaan penguasa Orde Baru untuk “tidak menyentuh nama-nama tertentu” dalam kasus korupsi di Sulsel. Tak heran, kariernya kerap “dijeda” dengan digeser ke posisi administratif.

BACA JUGA: Profil Adnan Buyung Nasution: Pendekar Hukum Bersuara Lantang di Istana

 

TIRAKAT DI TENGAH KOLAM BUSUK KEKUASAAN

Di tengah posisinya yang kian strategis, yakni dari Jaksa Agung hingga Menteri Kehakiman, Baharuddin Lopa menjalani hidup yang amat bersahaja.

Rumah dinasnya jarang dihuni. Lopa lebih sering tinggal di rumah kontrakan yang sederhana, tanpa pengawal berlebihan.

Istrinya, Siti Salmiah, mengungkapkan bahwa Lopa kerap menangis di tengah malam usai memimpin sidang etik atau menyaksikan ketidakadilan yang tak mampu ia benahi.

“Banyak yang dia simpan sendiri,” ucap Salmiah memberi kesaksian.

Lopa menolak banyak fasilitas negara. Bahkan ketika menjadi Jaksa Agung, Lopa menyumbangkan sebagian besar tunjangannya ke panti asuhan.

Ketika ditanya soal itu, jawabnya hanya, “Saya sudah cukup. Yang lain lebih membutuhkan.”

 

WAFAT YANG MENYISAKAN TANDA TANYA

Baharuddin Lopa wafat secara mendadak di Riyadh, Arab Saudi, pada 3 Juli 2001, saat menjabat Menteri Kehakiman dan HAM di era Presiden Abdurrahman Wahid.

Saat itu Lopa tengah dalam perjalanan dinas, namun wafatnya diselimuti kabut spekulasi.

Ada yang menyebut ia diracun, ada pula yang meyakini ia sudah terlalu letih menghadapi sistem yang terus melawan nuraninya.

Yang jarang dikabarkan, adalah betapa menjelang akhir hayatnya, Lopa menyampaikan ke beberapa orang dekatnya bahwa dirinya merasa “tak akan lama lagi”.

Lopa, dalam catatan pribadi, mengungkapkan keputusasaannya atas sistem hukum yang tak berubah. Meski demikian, Lopa berjanji pada dirinya tak akan pernah mundur selangkahpun.

BACA JUGA: Siap-siap! ASN Jakarta Pehobi Judi Online Dijatuhi Sanksi Tegas

 

WARISAN SUNYI, WARISAN ABADI

Hingga hari ini, Lopa tak banyak dikutip dalam pidato-pidato pejabat. Tak ada undang-undang yang menyandang namanya.

Meski demikian, di kalangan mahasiswa hukum, jaksa idealis, dan aktivis antikorupsi, nama Baharuddin Lopa adalah semacam ruh sunyi yang membisikkan perlunya keberanian menegakkan keadilan.

Warisan Lopa bukan bangunan, bukan lembaga, tetapi jejak moral. Ia membuktikan bahwa di tengah sistem yang busuk, seseorang masih mungkin berdiri tegak, walaupun seorang diri.

Dua kutipan penegasan Lopa di bawah ini pasti dicacat dengan tinta emas oleh aparat hukum yang masih memiliki nurani.

Ia datang dari Timur, tetapi nuraninya menembus jantung kekuasaan ibu kota. Tak membawa partai, tak membawa pasukan. Hanya selembar tekad dan kehendak menegakkan hukum.

Satu; Kalau kita membela kebenaran, jangan setengah hati. Kalau kita melawan kebatilan, jangan berhitung untung-rugi. Karena keadilan tak lahir dari kepengecutan.

Dua; Negara yang kuat bukan karena banyak tentara. Tetapi karena punya manusia-manusia yang tak bisa dibeli.

Kini, 24 tahun setelah kepergiannya, nama Lopa tetap hidup dalam bisikan hati nurani aparat yang jujur, dalam diskusi mahasiswa hukum yang gelisah, dan dalam doa rakyat kecil yang masih menanti hadirnya keadilan.

Pertanyaannya bukan hanya “siapa yang akan seperti Lopa?” Melainkan “beranikah kita menyalakan kembali api itu, dan menjaganya tetap menyala?”

BACA JUGA: Teks Tidak akan Hadirkan Perubahan, Terpenting Ubah Watak Kekuasaan!

 

BIO DATA

Nama Lengkap: Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H.
Tempat Lahir: Polewali, Sulawesi Barat (dulu Sulawesi Selatan)
Tanggal Lahir: 27 Agustus 1935
Tempat, Tanggal Wafat: Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001
Agama: Islam
Istri: Hj. Siti Salmiah Baharuddin

Pendidikan:

– Sekolah Rakyat di Polewali
– SMP di Majene
– SMA Negeri di Makassar (kini SMAN 1 Makassar)
– Sarjana Hukum (S.H.): Universitas Hasanuddin, Makassar
– Pendidikan Lanjutan: Institute of Public Administration (IPA), Inggris, (kursus hukum pidana dan administrasi keadilan)
– Program Doktor Honoris Causa: Universitas Hasanuddin (pada masa hidupnya belum resmi menerima, tetapi wacana ini muncul kuat menjelang akhir hayat)

Karier dan Jabatan Penting:

– Kepala Kejaksaan Negeri di berbagai daerah (Makassar, Kendari, Palopo)
– Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
– Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman
– Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi (1993–1998)
– Anggota Komnas HAM
– Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM
– Jaksa Agung Republik Indonesia (masa jabatan: 6 Juni 2001 – 3 Juli 2001)
– Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia (masa jabatan: 29 Mei 2001 – 3 Juli 2001)

BACA JUGA: Belum Usai Chromebook Rp9,9 Triliun, KPK Kini Selidiki Dugaan Korupsi Kuota Internet Gratis dan Google Cloud di Kemendikbudristek

Penghargaan dan Pengakuan:

– Gelar Pahlawan Nasional (belum resmi, namun banyak tokoh masyarakat dan lembaga hukum mengusulkan hal ini)
– Tokoh Antikorupsi Nasional oleh berbagai lembaga independen
– Nama Baharuddin Lopa diabadikan sebagai nama gedung di beberapa kampus dan kantor kejaksaan
– Dianggap sebagai ikon integritas hukum Indonesia.

Karya dan Tulisan:

Baharuddin Lopa tidak banyak menerbitkan buku pribadi, namun pemikiran dan pidatonya terdokumentasi dalam: Kumpulan pidato dan ceramah hukum

Buku biografi: Api Keadilan dari Timur: Baharuddin Lopa, Pejuang Hukum Sejati (Penerbit Kompas, 2002)

Artikel dan kutipan banyak dimuat di jurnal hukum dan tulisan akademik. []

Facebook
Twitter
WhatsApp
Scroll to Top