Peradi dan Gagalnya Impian Wadah Tunggal Profesi Advokat

kubu-kubu Peradi

Hukum akan kehilangan wibawanya jika penjaganya tak lagi satu suara.

 

IMN.co.id – Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dibentuk di bawah payung semangat reformasi di bidang hukum dan penegakan keadilan pascaruntuhnya rezim Orde Baru.

Pembentukan Peradi merupakan amanat pengasahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

UU ini mengatur bahwa profesi advokat bersifat mandiri dan setara dengan aparat penegak hukum lainnya, yakni jaksa, hakim, dan polisi.

Diarahkan pula bahwa para advokat berwadahkan satu organisasi tunggal, yang independen dari pengaruh pihak manapun, termasuk pemerintah.

BACA JUGA: Sambut Kajari Depok Baru, Dandim dan Kapolres Ingatkan Kolaborasi

Peradi secara resmi dibentuk melalui Kesepakatan Delapan Organisasi Advokat pada 21 Desember 2004. Kedelapan organisasi itu, yakni:

1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin)
2. Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
3. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
4. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
5. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)
6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
7. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
8. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI)

Para perwakilan organisasi di atas pada 16 Juni 2003 membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

Kepengurusan organisasi dimaksud sepakat meleburkan diri ke dalam satu wadah Peradi.

Pasal 32 ayat (4) UU Nomor 18 Tahun 2003 memerintahkan organisasi profesi advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak UU ini disahkan.

“Organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

BACA JUGA: Misteri Hilangnya Desmita, Gadis 19 Tahun Mantan Karyawan Toko Emas di Jakarta Barat Usai Chat Terakhir ke Ibunya

Dalam waktu sekitar 20 bulan, tepatnya pada 21 Desember 2004, masyarakat advokat sepakat berwadah Peradi.

Berdasar rumusan UU Advokat dimaksud, sejumlah pihak menafsirkan bahwa peundang-undangan menghendaki adanya satu organisasi profesi advokat, bukan plural.

Terbentuknya Peradi pada 2004, organisasi ini kemudian diposisikan sebagai wadah tunggal dalam melaksanakan fungsi-fungsi profesi advokat: pendidikan, pengangkatan, pengawasan, hingga penegakan kode etik.

Peradi mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan.

Acara itu, selain diikuti sekitar 600 advokat se-Indonesia juga dihadiri Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat itu.

Peradi diberi kewenangan mengeluarkan Berita Acara Sumpah (BAS) dan Kartu Tanda Advokat, serta menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan Ujian Profesi Advokat (UPA) –sesuai mekanisme internal.

Organisasi profesi advokat Peradi melalui masa solidnya hanya satu dekade sejak dibentuk. Konflik internal belakangan tak dapat dikelola secara baik.

Puncaknya setelah Munas Peradi 2015, konflik berujung mencuatnya tiga kubu: Peradi (Otto Hasibuan), Peradi Rumah Bersama Advokat (Luhut Pangaribuan), dan Peradi Suara Advokat Indonesia (Juniver Girsang).

Tak usai di situ, kalangan advokat yang tak sreg dengan ketiga kepengurusan di atas membentuk organisasi baru, yang tidak terafiliasi dengan Peradi, di antaranya:

– Kongres Advokat Indonesia (KAI)
– Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin)
– Persatuan Advokat Indonesia (Peradi Pergerakan)

BACA JUGA: Teks Tidak akan Hadirkan Perubahan, Terpenting Ubah Watak Kekuasaan!

Merespons kisruh elemen penting penegakan hukum itu, Mahkamah Agung (MA) menerima realitas pluralitas yang terjadi.

Melalui Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, MA membolehkan pengambilan sumpah bagi advokat yang diangkat oleh berbagai organisasi.

Syaratnya, MA menggarisbawahi selama memenuhi ketentuan UU Advokat dan mendapat rekomendasi organisasi advokat yang berbadan hukum dan sah.

Sementara itu, sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 66/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa tidak ada monopoli organisasi advokat, dan bahwa advokat bisa membentuk lebih satu organisasi asalkan sesuai UU dan prinsip keprofesian.

Jelas, status Peradi bukan lagi satu-satunya organisasi profesi advokat secara de facto maupun de jure.

Namun, sejumlah advokat/pengacara kondang –sebut saja Prof. Yusril Ihza Mahendra– berpendapat Peradi tetap satu-satunya organisasi profesi advokat sesuai UU Nomor 18/2003.

Menurut Yusril, selain Peradi tetap sah sah sebagai organisasi. “Namun sebatas perhimpunan, bukan organisasi profesi,” kata Yusril, pakar hukum tata negara. []

Facebook
Twitter
WhatsApp
Scroll to Top